Saat melakukan perjalanan seorang diri, kadang menjadi kesempatan buat saya untuk berkontemplasi. Berkontemplasi tentang apa saja, tapi biasanya hal-hal yang saya alami atau yang saya rasakan.
Seperti saat ini, ketika saya berada di atas kereta Brawijaya, dalam perjalanan dari Malang menuju pulang ke Jakarta. Saya melakukan perenungan karena rasa kantuk yang tak kunjung datang, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 23.00, waktunya tidur. Mungkin karena air conditioner yang terlalu dingin, sementara saya adalah tipikal manusia tropis sejati, yang tidak terlalu nyaman dengan dinginnya AC.
Saya memulai tulisan ini, ketika kereta yang saya naiki perlahan masuk stasiun Semarang. Beberapa hari ini saya memang sedang gundah karena suatu hal yang tidak sejalan dengan hati nurani saya. Hal yang menurut saya tidak perlu terjadi, kalau setiap orang memahami tugas dan tanggung jawabnya, sehingga tidak merugikan orang lain.
Ketika saya sampai pada ambang batas sabar dan toleransi. Saya sudah gak mau marah atau protes dengan suara lagi. Saya memilih diam. Tapi diam pun ternyata buat orang lain adalah kesalahan. Alih-alih orang yang melakukan kesalahan yang ditegur, malah yang sudah diam yang dipertanyakan. Dituding tidak bisa berkomunikasi, tidak bisa bekerjasama, dan seabrek tudingan buruk lainnya. Lalu nasib pekerjaan saya yang sudah ‘dirusak’ itu bagaimana? tanyakan pada rumput yang bergoyang.
Bukannya sok idealis. Buat soal kerjaan, saya memang sangat serius. Bekerja buat saya bukan sekedar cari makan, tapi kebanggaan dan penghormatan atas profesi yang saya pilih. Hati saya tambah miris, di tengah upaya memperjuangkan hasil kerja saya, tiba -tiba saya mendengar orang yang bicara ‘Santai aja sih … kerja gak usah serius-serius amat …’ Kata-kata itu membuat saya takjub, karena diucapkan oleh orang yang berpendidikan, kata-kata yang menurut saya tidak pantas diucapkan oleh seorang pekerja dengan profesi jurnalis.
Tapi saya hanya tersenyum dalam hati. Sambil membatin, ‘Ah, seandainya saya bisa seperti dia. mau hasil kerjaan saya jadi jelek, bodo amat, gak usah capek-capek protes … tokh gak ada yang peduli dan gue akan tetap digaji …’
Saat otak saya sedang mencerna itu semua, hati kecil saya bersuara seperti menyadarkan kenapa saya harus ikut-ikutan untuk hal yang tidak baik. Kenapa saya harus menghancurkan apa yang sudah saya bangun selama ini untuk menjaga hal yang baik, hanya karena omongan orang. Saya diingatkan lagi bahwa lingkungan bisa mempengaruhi dan mengubah seseorang, entah jadi baik atau jadi buruk. Pilihan itu ada di tangan kita sendiri. Kadang, karena merasa takut dikucilkan, takut tidak punya teman, orang mengorbankan perasaan dan integritasnya sendiri demi diakui dan dinilai sebagai orang baik oleh lingkungannya. Padahal tanpa sadar, hal itu membuat dia kehilangan jati dirinya yang berharga.
Tiba-tiba saya mulai menguap. Di luar jendela pemandangannya juga sudah makin gelap. Lampu di dalam kereta sudah diredupkan. Rasanya saya sudah mulai mengantuk. Tidur dulu ya. Semoga malam ini saya mimpi indah.
Kereta Brawijaya. Minggu, 3 Maret 2024. Pukul 0.03.